Masalah terkait lahan terdampak proyek Jalan Tol Semarang—Demak, Jawa Tengah, kembali muncul ke permukaan.
Kali ini para pemilik tambak di Kelurahan Terboyo Kulon, Terboyo Wetan dan Trimulyo, Kecamatan Genuk Kota Semarang yang menyatakan protes ke pemerintah.
Bagaimana tidak, puluhan hektare lahan tambak mereka yang terdampak proyek Jalan Tol Semarang—Demak ditanyatakan sebagai tanah musnah oleh Panitia Pembebasan Tanah (P2T).
Para pemilik tambak tersebut pun bersikeras menolak penetapan tanah musnah oleh P2T dengan alasan lahannya masih difungsikan sebagai lokasi budidaya ikan bandeng, kerang dan udang.
“Kalau dianggap musnah, itu tidak benar. Karena ketika ada proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) dua tahun lalu, dengan tanah dan objek pajak yang sama, itu dihargai dengan layak,” ujar salah satu pemilik tambak, Ngatino, dikutip dari Tribun-pantura.com, Rabu (03/11/2021).
Jadi enggak heran kalau Ngatino mempertanyakan terkait penetapan tambaknya dan rekan-rekannya sebagai tanah musnah.
Terlebih luas tambak yang terdampak proyek Jalan Tol Semarang—Demak ada sekitar 65 hektare tersebar di Kelurahan Terboyo Kulon, Terboyo Wetan dan Trimulyo.
Lebih parahnya, 10 warga pemilik 65 hektare lahan ini hingga sekarang belum mendapatkan ganti rugi.
Kalau puluhan hektare lahan itu ending-nya tetap dianggap sebagai tanah musnah maka para pemilik hanya akan mendapatkan tali asih yang besarannya jauh dari jumlah uang ganti rugi yang layak.
“Harapannya, tim P2T tol Semarang—Demak tetap mencantumkan tambak kami sebagai tanah terdampak sehingga kami bisa mendapatkan penggantian yang layak melalui appraisal, bukan sekadar tali asih,” imbuh Ngatino.
Pemilik lahan tambak lainnya, Joko S. juga mengatakan kalau warga sepakat untuk menolak tali asih atas penetapan tanah musnah di seluruh tambak yang terdampak proyek jalan tol ini.
Pasalnya, para pemilik lahan masih melakukan kegiatan budidaya dan tetap membayar pajak tahunan hingga sekarang.
“Kami menolak penetapan tanah musnah atau tali asih sebagai ganti rugi. Kami meminta ganti rugi yang layak berdasarkan appraisal. Secara yuridis, tanah kami merupakan tanah yang sah, soalnya setiap tahunnya kami bayar pajak,” papar Joko.
Perlu diketahui, agar lahan mereka bisa ditetapkan sebagai tanah terdampak jalan tol, syaratnya di antaranya tambak harus 90 persen berupa air dan 10 persen batas.
Adapun untuk batas tambaknya bisa berupa tanah atau pembatas lainnya.
“Faktanya, tambak kami 90 persen air. Sampai sekarang masih kami gunakan untuk budidaya ikan bandeng, kerang atau udang. Jadi tambak kami masih diidentifikasi,” lanjut Joko.
Lebih lanjut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang sebetulnya sudah melakukan pengukuran di puluhan hektare tambak tersebut dan tidak ada perselisihan dengan warga.
Tapi P2T proyek Jalan Tol Semarang—Demak justru menetapkan lahan tambak warga sebagai tanah musnah, yang mana jelas ditentang oleh mereka.
Sementara itu, kuasa hukum para pemilik tambak, Agus Wijayanto meminta tim P2T harus hati-hati dan teliti untuk menentukan tanah mana saja yang masuk kategori tanah musnah.
Ia mengambil dasar dari Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah.
Dalam aturan ini, ada beberapa syarat sebuah tanah atau tambah ditetapkan sebagai tanah musnah, salah satunya sudah berubah bentuk sehingga tidak bisa diidentifikasi.
“Faktanya, tanah tambak milik warga bisa diidentifikasi karena pembatasnya masih ada. Bisa dengan tanah, bambu atau lainnya,” jelas Agus.
Tidak hanya itu, bidang lahan dinyatakan sebagai tanah musnah kalau sudah tidak bisa difungsikan.
Padahal, tambak milik warga yang terdampak proyek Jalan Tol Semarang—Demak masih bisa difungsikan untuk budidaya ikan bandeng, kerang atau udang.
“Jadi, kami semua akan mempertahankannya agar tambak milik warga tidak dikategorikan sebagai tanah musnah. Tidak menutup kemungkinan, kami akan melakukan langkah hukum untuk mempertahankan hak warga,” pungkas Agus.